Senin, 17 Juni 2013

Biografi Tokoh " W.S. Rendra "



A.       Identitas Pengarang
W.S. Rendra (Willibrordus Surendra Broto Rendra), lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak".
W.S. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional. Sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta.
Pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak yaitu Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan kelima anak Rendra-Sunarti.
Dengan ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi.
Peristiwa itu tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini yaitu kemerdekaan individual sepenuhnya.
“ Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, “ katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang. Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja.
Suatu hari ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, “Seperti itulah saya,” tutur Rendra spontan. Sejak itu, julukan “ Burung Merak ” melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak yaitu Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati.
Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak yaitu Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
B.       Pendidikan
1)     TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
2)     SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo - Tamat pada tahun 1955.
3)     Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta - Tidak tamat.
4)     Mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).

C.           Beberapa karya
Drama:
o   Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
o   Bib Bob Rambate Rate Rata (Teater Mini Kata) – 1967
o   SEKDA (1977)
o   Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 6 kali)
o   Mastodon dan Burung Kondor (1972)
o   Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
o   Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
o   Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
o   Lysistrata (terjemahan)
o   Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
o   Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
o   Kasidah Barzanji (dimainkan 2 kali)
o   Perang Troya Tidak Akan Meletus
o   Lingkaran Kapur Putih
o   Panembahan Reso (1986)
o   Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)
o   Shalawat Barzanji
o   Sobrat

Kumpulan Sajak/Puisi:

o   Ballada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
o   Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!
o   Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
o   Blues untuk Bonnie
o   Empat Kumpulan Sajak
o   Sajak-sajak Sepatu Tua
o   Mencari Bapak
o   Perjalanan Bu Aminah
o   Nyanyian Orang Urakan
o   Pamphleten van een Dichter
o   Potret Pembangunan Dalam Puisi
o   Disebabkan Oleh Angin
o   Orang Orang Rangkasbitung
o   Rendra: Ballads and Blues Poem
o   State of Emergency
o   Jangan Takut Ibu
o   Rick dari Corona
o   Nyanyian Angsa
o   Pesan Pencopet kepada Pacarnya
o   Perjuangan Suku Naga
o   Rumpun Alang-alang
o   Surat Cinta
o   Sajak Rajawali
o   Sajak Seonggok Jagung


C.       Penghargaan
o   Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
o   Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
o   Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
o   Hadiah Akademi Jakarta (1975)
o   Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
o   Penghargaan Adam Malik (1989)
o   The S.E.A. Write Award (1996)
o   Penghargaan Achmad Bakri (2006).

D.           Pengalaman
o   Mengikuti festival The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979)
o   Mengikuti festival The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985)
o   Mengikuti festival Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985)
o   Mengikuti festival The First New York Festival Of the Arts, Spoleto Festival, Melbourne (1988)
o   Mengikuti festival Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989)
o   Mengikuti festival World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992)
o   Mengikuti festival Tokyo Festival (1995).
o   Mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard.
o   Mengikuti acara penutupan Festival Ampel Internasional

E.            Rendra sebagai sastrawan
WS Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater. Menggubah sajak maupun membacakannya, menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi, maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri, bahkan di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri. Ternyata akademi tersebut telah ditutup. Lalu ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya , tidak berarti ia berhenti untuk belajar. Pada tahun 1954 ia memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA). Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat.
Sekembalinya dari Amerika pada tahun 1967, pria tinggi besar berambut gondrong dengan suara khas ini mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Memimpin Bengkel Teater, menulis naskah, menyutradarai, dan memerankannya, dilakukannya dengan sangat baik.
Karya-karyanya yang berbau protes pada masa aksi para mahasiswa sangat aktif di tahun 1978, membuat pria bernama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, ini pernah ditahan oleh pemerintah berkuasa saat itu. Demikian juga pementasannya, ketika itu tidak jarang dilarang dipentaskan. Seperti dramanya yang terkenal berjudul SEKDA, Mastodon dan Burung Kondor dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki. Kelompok teaternya pun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Citayam, Cipayung, Depok, Jawa Barat.
Bengkel teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari. Di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, ebony, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong dan lain-lain.
Di samping karya berbau protes, Rendra  juga sering menulis karya sastra yang menyuarakan kehidupan kelas bawah seperti puisinya yang berjudul Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya. Banyak karya-karyanya yang sangat terkenal, seperti Blues untuk Bonnie, Pamphleten van een Dichter, State of Emergency, Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api, Mencari Bapak.
Bahkan di antara sajak-sajaknya ada yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris seperti Rendra: Ballads and Blues: Poems oleh Oxford University Press pada tahun 1974. Demikian juga naskah drama karyanya banyak yang telah dipentaskan, seperti Oedipus Rex, Kasidah Barzanji, Perang Troya Tidak Akan Meletus, dan lain sebagainya.
Oleh karena karya-karyanya yang begitu gemilang, Rendra beberapa kali pernah tampil dalam acara bertaraf internasional. Sajaknya yang berjudul Mencari Bapak, pernah dibacakannya dalam acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-118 Mahatma Gandhi pada 2 Oktober 1987, di depan para undangan The Gandhi Memorial International School Jakarta. Beliau juga pernah ikut serta dalam acara penutupan Festival Ampel Internasional 2004 yang berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur, 22 Julai 2004. Ketika itu penampilannya mendapat perhatian dan sambutan yang sangat hangat dari para undangan. Demikianlah salah satu contohnya ia secara langsung telah berjasa memperkenalkan sastra Indonesia ke mata dunia internasional.
Sejak tahun 1977 ketika ia sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, "Yang Muda Yang Bercinta" ia dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik dilarang. Ia menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul "Seni Drama Untuk Remaja" dengan nama Wahyu Sulaiman. Tetapi di dalam berkarya ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja sejak 1975.

F.            Penelitian tentang karya Rendra
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.

G.           Kepergian Rendra
Penyair ternama WS Rendra atau lebih terkenal dengan panggilan ‘Burung Merak’ meninggal dunia pada usia 74 tahun di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok, Jawa Barat, pukul 10 malam Kamis 6 Agustus 2009. Penyair dan pelakon drama yang nama lengkapnya Wahyu Sulaiman Rendra meninggalkan 11 orang anak hasil dari tiga pernikahannya.
Rendra terkenal dengan sajak-sajaknya yang penuh dengan sindiran dan kritikan cukup mahir memainkan emosi penonton ketika melakukan pertunjukan. Beliau yang lebih akrab dipanggil Willy mencurahkan sebagian besar hidupnya terhadap dunia sastra dan teater. Menggubah serta mendeklamasi puisi, menulis skrip serta bermain drama merupakan kemahirannya yang tidak ada bandingan. Hasil seni dan sastra yang digarap cukup dikenali oleh peminat seni dalam maupun dari luar negeri.
Meskipun sudah terkenal, ternyata masih banyak keinginan WS Rendra yang belum dipenuhi dan semua direkamkan dalam sebuah puisi yang dibuatnya beberapa hari sebelum Si Burung Merak tersebut menghembuskan nafasnya yang terakhir. “Dia meninggalkan satu puisi, puisi itu menyebutkan bahawa masih banyak keinginannya tetapi dia tidak mampu. Jadi semangat masih ada tapi dia tidak mampu mengatasi situasi dirinya yang semakin lemah,” kata salah seorang sahabat Rendra, sastrawan Jose Rizal Manua. Puisi itu dibuat Rendra ketika masih dirawat di rumah sakit dan puisi tersebut disampaikan oleh salah seorang anak perempuan Rendra.
Kini dunia seni kehilangan sosok Rendra, tetapi Si Burung Merak itu akan terus menjadi inspirasi kepada generasi muda pencinta seni.
Puisi Terakhir WS Rendra
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin
Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku
dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam
Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu

II.      Hal-hal yang menarik dari tokoh W.S Rendra

1.    W.S Rendra menjadikan sebuah seni untuk menyampaikan kritikan-kritikannya atau protes yang kebanyakan bertema sosial.
2.    Sikap W.S Rendra yang kritis membuktikan kepeduliannya terhadap masalah-masalah kemanusiaan, nilai budaya dan lingkungan yang mendalam.
3.    memiliki kepedulian sosial yang tinggi dan mimpi indah Indonesia kedepan dengan rakyat yang makmur.Hal itu tergambar dari karya dan puisi-puisi-nya yang banyak berisi kritik sosial, diantaranya puisinya di hadapan mahasiswa Universitas Indonesia 1 Desember 1977
4.    W.S Rendra tidak menguasai satu bidang pengetahuan saja, tetapi ia juga menguasai bidang yang lain.
5.    W.S Rendra terus berusaha menjadi yang terbaik walaupun dia tidak menyelesaikan kuliahnya, tetapi ia terus memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika, sehingga pada akhirnya ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA).
6.    W.S. Rendra mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri yang berbeda dengan sastrawan lain.

III.     Hal-hal yang dapat diteladani dari tokoh WS Rendra
1.      W.S. Rendra merupakan sastrawan yang sangat kreatif. Tampak dari karya-karyanya yang banyak diberi penghargaan.
2.      Sastrawan yang punya keinginan untuk maju, pantang menyerah dan pekerja keras. Terbukti dari karya-karyanya yang mendapat penghargaan hingga ia mendapat beasiswa untuk belajar ke American Academy of Dramatical Art, New York, Amerika. Ia juga mendapat kesempatan untuk mengadakan seminar di Universitas Harvard atas permintaan pemerintah setempat.
3.      Berjiwa seni tinggi terutama pada seni teater.
4.      Beliau adalah pengkritik yang mempedulikan lingkungannya. Terlihat dari karya-karyanya yang dilarang pemerintah saat itu
5.      Memperhatikan keadaan masyarakat kelas bawah akibat keterpurukan ekonomi lewat puisinya Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta dan puisi Pesan Pencopet Kepada Pacarnya
6.      W.S. Rendra adalah seorang sastrawan yang serba bisa. terbukti dari berbagai bakat yang ia bisa selain menulis puisi yaitu membacakan puisi, mementaskan drama, membuat cerpen, membuat buku, pemimpin Bengkel Teater, menulis naskah, dan sutradara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar